MAKALAH USHUL FIQH
DOSEN: WAHYU SETIAWAN, M.Ag
LAFAL DARI SEGI JELAS DAN TIDAK JELAS MAKNANYA
DISUSUN OLEH: KELOMPOK 9
ILHAM WAHYU SAPUTRA 1602100132
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI METRO
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PROGAM STUDI S1 PERBANKAN SYARIAH
SEMESTER II
2017
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warohmatullahi
Wabarakatuh
Alhamdullilahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah SWT
berikan kepada kita semua tetapi sedikit sekali yang kita ingat, Puji syukur
kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNYA sehingga kami dapat menyelasaikan
makalah ini yang berjudul “ lafaz jelas dan tidak jelas berdasarkan maknanya”.
Dan juga kami ucapkan terimakasih kepada bapak wahyu setiawan selaku dosen mata
kuliah ushul fiqh kami yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami menyadari bahwa pembuatan makalah ini berkat ridho
Allah SWT dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu, dalam
kesempatan ini saya mengucapkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak dan teman-teman yang membantu membuat makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun, kami
telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga
dapat menyelesaikan makalah ini. Dengan tangan terbuka kami menerima saran dan
usul guna penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca.
Metro , 22 Mei 2017
Kelompok
9
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar
.............................................................................................. i
Daftar Isi.........................................................................................................
ii
BAB I
Pendahuluan
1.
Latar belakang .................................................................................... 1
2.
Rumusan masalah ............................................................................... 1
BAB II
Pembahasan
1.
Pengertian Lafaz yang
Jelas dan Tidak Jelas Maknanya.....................
2
2.
Lafaz yang Jelas
Maknanya................................................................
2
A. Metode
Hanafiyah..........................................................................
3
1) Zhahir........................................................................................
3
2) Nash
......................................................................................... 5
3) Mufassar
.................................................................................. 7
4) Muhkam
................................................................................... 8
B. Metode
Mutakallimin .................................................................... 9
1) Zhahir
..................................................................................... 10
2) Nash
........................................................................................ 10
3.
Lafaz yang Tidak Jelas
Maknanya...................................................... 11
1) Khafi
........................................................................................... 12
2) Musykil
........................................................................................ 13
3) Mujmal
........................................................................................ 15
4) Mutasyabih
.................................................................................. 15
BAB III Penutup
1.
Kesimpulan ......................................................................................... 17
2.
Saran ................................................................................................... 17
Daftar
Pusta
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam
hal metode penemuan hukum islam, para ahli merumuskan 3 metode, yaitu: metode
interpretasi linguistik, metode kaukasi dan metode teleologis. Penyebutan
metode penemuan hukum jenis pertama sebagai penalaran bayani maksudnya bahwa
pembahasan lebih tertuju tentang teks, dalam hal ini teksnya adalah berbahasa
Arab. Metode ini merupakan metode penemuan hukum dengan melakukan interpretasi
atau penafsiran terhadap teks-teks hukum islam yang ada yaitu nass al-Qur’an
dan hadis.
Dalam
konteks ini, penguasaan bahasa
Arab beserta kaidah-kaidahnya merupakan hal yang mutlak, sebab al-Qur’an dan
hadis sebagai sumber material hukum islam menggunakan bahasa Arab. Oleh karena
itu setiap usaha memahami dan menggali hukum dari teks kedua sumber hukum
tersebut sangat tergantung kepada kemampuan memahami bahasa Arab. Para ahli
ushul fiqh menetapkan bahwa pemahaman teks dan penggalian hukum harus berdasarkan aqidah.
Berdasarkan
kaidah-kaidah linguitik ini, para
ahli ushul fiqh kemudian mengelompokkan pernyataan-pernyataan (lafz) syari’ah
ke dalam empat sudut kajian, yaitu:
1.
Lafaz dikaji dari aspek
jelas-tidaknya
2.
Lafaz dikaji dari aspek cara
penunjukannya terhadap makna yang dimaksud
3.
Lafaz dikaji dari aspek
luas-sempitnya makna
4.
Lafaz dikaji darisegi formula
perintah.
Maka
dalam makalah ini penulis akan membahas tentang lafaz dari segi aspek jelas
tidaknya makna.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang maka penulis merumuskan beberapa pokok masalah yang akan dibahas
dalam makalah:
1.
Apa yang dimaksud dari lafaz jelas
dan lafaz tidak jelas ?
2.
Terbagi berapa kategori lafaz yang
jelas makananya ?
3.
Ada berapa kategori lafaz yang tidak
jelas maknanya?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Lafaz yang Jelas dan Tidak Jelas
Maknanya
Lafaz
adalah susunan beberapa huruf yang mengandung arti. Lafaz dari segi kejelasan maknanya terbagi kepada dua macam,
yaitu lafaz yang jelas dan lafaz yang tidak jelas. Maksud dari lafaz yang jelas
adalah lafaz yang jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud tanpa
memerlukan penjelasan dari luar.[1]
Lafaz yang jelas juga biasa disebut dengan zhahirud, maksud dari zhahirud
adalah suatu lafaz yang menunjuk kepada makna yang dikehendaki oleh sighat
(bentuk) lafaz itu sendiri, artinya untuk memahami makna dari lafaz itu tidak tergantung kepadasuatu
hal dari luar.
Sedangkan yang dimaksud dengan lafaz yang tidak jelas
adalah lafaz yang belum jelas penunjukkannya terhadap makna yang dimaksud
kecuali dengan penjelasan dari luar lafaz itu. Lafaz yang tidak jelas juga
biasa disebut dengan khafiyud dalalah, khafiyud dalalah adalah lafaz yang
penunjukannya kepada makna yang bukan dikehendaki oleh sighat itu sendiri,
melainkan karena tergantung kepada sesuatu dari luar. Ketergantungannya kepada
sesuatu dari luar lantaran adanya kekaburan pengertian pada lafaznya. Kekaburan
lafaz itu dapat dihilangkan dengan jalan mengadakan penelitian dan ijtihad.[2]
2.
Lafaz
yang Jelas Maknanya
Dalam
lafaz yang jelas maknanya sendiri terdapat 2 pendapat, yang pertama yaitu
pendapat dari jumhur ulama atau mutakallimun menjelaskan bahwa lafaz yang jelas
maknanya terbagi dari 3 tingkatan, yaitu nash, zahir dan mujmal. Sedangkan
pendapat lain, yaitu pendapat dari kalangan hanafiyah. Lafaz yang jelas menurut
kalangan hanafiyah ada 4 macam,yaitu zahir, nash, mufassar dan muhkam. Urutan
ini menurut kalangan hanafiyah menggambarkan tingkatan kejelasan makna yang
dimaksudkan sebuah lafaz dari tingkat kejelasan dengan kualitas terendah hingga
yang tertinggi.
Agar lebih mudah melihat klasifikasi lafaz dilihat
dari segi jelas maknanya yang dihasilkan berdasarkan kedua pendapat tersebut,
maka dapat dilihat pada diagram atau bagan berikut ini:
A.
Metode
Hanafiyah
Menurut
metode Hanafiyah, lafaz yang jelas dikategorikan menjadi empat macam, yaitu
zhahir, nash, mufassar dan muhkam. Urutan ini menggambarkan tingkatan kejelasan
makna yang dimaksudkan sebuah lafaz dari tingkat kejelasan dengan kualitas
terendah hingga yang tertinggi.
1) Zhahir
Zhahir
adalah lafaz yang menunjukkan suatu pengertian secara jelas tanpa memerlukan
penjelasan dari luar, namun bukan pengertian itu yang menjadi maksud utama dari
pengucapannya, karena terdapat pengertian lain yang menjadi maksud utama dari
pihak yang mengucapkannya.[3]
Makna yang terbentuk dalam persepsi pendengar bukan merupakan maksud dasar
pelafazan. Secara lebih jelas dapat dinyatakan, bahwa menurut aliran Hanafiyah,
lafaz zhahir adalah bentuk lafaz yang menghadirkan makna jelas yang secara langsung
dapat ditangkap, namun makna ini bukan tujuan atau maksud pembicaraan. [4]
Contoh lafaz zhahir yang ada dalam al-Qur’an seperti
surah Al-Nisa ayat 3 berikut ini:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû
4uK»tGuø9$#
(#qßsÅ3R$$sù $tB
z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$#
4Óo_÷WtB y]»n=èOur
yì»t/âur (
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat.
Makna atau arti zhahir yang cepat yang dapat ditangkap dari
ayat tersebut adalah halalnya mengawini wanita-wanita yang disenangi dan
kebolehan menikahi perempuan sebanyak dua, tiga, atau empat orang. Akan tetapi makna zhahir tersebut bukanlah
maksud utama ayat, kalau diperhatikan rangkaian pembicaraannya, bukanlah makna
itu yang dimaksud. Maksud dari ungkapan itu ialah membatasi jumlah wanita yang
boleh dikawini atau dinikahi yaitu empat orang dan maksud utamanya adalah
penetapan kehati-hatian untuk berlaku adil dalam bermu’amalah dengan
perempuan-perempuan yatim. Sebab kebiasaan orang-orang
Arab dalam memperlakukan anak perempuan yatim yang berada di dalam
perlindungannya adalah dengan tujuan penguasaan harta yang ditinggalkan oleh
orang tua anak yatim tersebut.
Dengan demikian, yang dimaksud
dengan lafaz zhahir adalah bentuk lafaz yang memunculkan makna yang cepat
ditangkap dari mendergarkan lafaz tersebut, namun mengandung makna relatif bahwa ada makna lain selain makna yang telah ditangkap
secara langsung.
Contoh surah lain
tentang lafaz zhahir adalah surat Al-Baqarah ayat 275:
3
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#
4
Artinya: Padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba.
Arti zhahir yang cepat dapat
ditangkap dari ayat tersebut adalah kehalalan jual beli dan keharaman riba.
Zhahir ayat tersebut menghadirkan makna yang mudah dan cepat ditangkap oleh
akal seseorang tanpa memerlukan faktor luar yang menjelaskannya bahwa jual beli
itu hukumnya halal dan riba itu hukumnya haram. Makna ini sangat jelas sekali
terlihat dalam ayat. Tetapi bukan pengertian itu yang dimaksud menurut konteks
ayat tersebut. Maksud utama ayat ini
adalah penjelasan tentang perbedaan antara jual beli dan riba. Karena ayat tersebut
adalah sebagai jawaban atas pernyataan orang musyrik yang menyatakan bahwa jual
beli dengan riba itu sama.[5]
Kaidah yang diterapkan oleh ulama ushul terkait lafaz zhahir
bahwa setiap lafaz zhahir harus dipegang maknanya. Hukum yang muncul dari lafaz
zhahir dapat diterapkan, seperti dua contoh ayat diatas bahwa pada ayat pertama
dapat dinyatakan “kebolehan menikah hingga batas
maksimal empat orang istri” dan pada ayat yang kedua
adalah tentang “kehalalan jual beli dan keharaman riba”. Kaidah yang berlaku di
sini adalah wajib mengamalkan pengertian zhahir dari suatu ayat atau hadis
selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada pengertian yang lain.
2)
Nash
Lafaz nash adalah lafal yang menunjukkan pengertiannya
secara jelas dan memang pengertian itulah yang dimaksudkan atau dikehendaki
oleh konteksnya. Lafaz nash merupakan bentuk lafaz yang lebih jelas dari lafaz
zhahir yang dijelaskan oleh lafaz itu sendiri dengan adanya petunjuk yang
terkait dengan maksud pembicara. Dalam arti bahwa kejelasan makna lafaz nash
dibandingkan lafaz zhahir tidak terjadi semata-mata dari struktur kalimat namun
dari makna yang menghadirkan maksud
pembicara itu sendiri. Secara singkat dapat dinyatakan bahwa lafaz nash adalah
sebuah lafaz yang penunjukan maknanya sesuai dengan maksud pembicara.[6]
Untuk lebih jelas tentang lafaz nash dan perbedaan dengan
lafaz zhahir, dapat dicontohkan melalui ayat riba yang telah diuraikan pada
pembahasan lafaz zhahir dengan redaksi ayat yang lengkap berikut:
úïÏ%©!$# tbqè=à2ù't (#4qt/Ìh9$#
w tbqãBqà)t wÎ) $yJx. ãPqà)t Ï%©!$# çmäܬ6ytFt
ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$#
4
y7Ï9ºs
öNßg¯Rr'Î/
(#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB
(#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#
4
Artinya : orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS.Al-Baqarah: 275)
Lafaz nash dari ayat ini menunjukkan
makna perbedaan antara jual beli dan riba dari segi halal dan haram. Makna ayat
(sebagai makna zhahir) pada makna kehalalan jual beli dan keharaman riba.
Sementara dalam makna nash pernyataan perbedaan keduanya merupakan makna yang
sesuai dengan maksud ayat tadi. Dengan adanya petunjuk bahwa ayat ini
diturunkan untuk menolak pernyataan orang-orang Yahudi yang mengatakan :
qt/Ìh9$# (#4@÷WÏBìøt7ø9$#$yJ¯RÎ)
Artinya : Sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba
Jadi
ayat tersebut pada dasarnya bertujuan untuk menyatakan perbedaan nyata antara
jual beli dengan riba sebagai sanggahan terhadap pendapat orang yang
menganggapnya sama. Hal ini dapat dipahami dari ungkapan keseluruhan ayat
tersebut. Meskipun maksud ayat ini sudah sangat jelas, namun dari ayat ini
dapat pula dipahami maksud lain, yaitu halalnya hukum jual beli dan haramnya
hukum riba. Pemahaman ini disebut pemahaman secara zhahir.
Terlihat
bahwa lafaz nash memunculkan kejelasan makna yang lebih daripada lafaz zhahir
sebab lafaz nash diketahui dari maksud pembicara. Oleh karena itu, dari segi
kekuatan makna yang dihasilkan oleh kedua lafaz, maka lafaz nash dalam
penunjukannya terhadap hukum dinyatakan lebih kuat dibandingkan dengan lafaz
zhahir sebab penunjukan nash lebih terang dan jelas dari segi maknanya.[7]
Kaidah
yang ditetapkan atau berlaku bagi lafaz nash adalah sama seperti lafaz zhahir
yaitu wajib menggunakan makna yang secara langsung dapat dipahami dari maksud
pembicara. Jadi kaidah yang berlaku disini adalah wajib mengamalkan pengertian
nash tersebut. Namun mengandung kebolehjadian untuk di ta’wil kepada pengertian
lain bila ada indikasi atau dalil yang menunjukkan untuk itu.
3) Mufassar
Mufassar adalah lafaz yang menunjuk
kepada makna sebagaimana dikehendaki atau lafal yang menunjukkan kepada maknanya secara jelas dan
perinci tanpa ada kemungkinan untuk dipalingkan kepada pengertian lain.[8]
Penunjukkan lafaz mufassar terhadap maknanya lebih jelas daripada lafaz zhahir
maupun lafaz nash. Lafaz mufassar dapat dibagi dua :
a.
Lafaz
yang maknanya jelas dan terperinci dari semula tanpa memerlukan penjelasan.
Contohnya adalah :
tûïÏ%©!$#ur
tbqãBöt ÏM»oY|ÁósßJø9$#
§NèO
óOs9
(#qè?ù't Ïpyèt/ör'Î/
uä!#ypkà
óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ wur (#qè=t7ø)s? öNçlm;
¸oy»pky #Yt/r&
Artinya:
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh
itu) delapan puluh kali dera (QS. An-Nur: 4)
Bilangan
delapan puluh kali dera bagi pelaku qadhf yang menuduh orang baik-baik
melakukan zina tanpa adanya empat orang saksi, merupakan lafaz mufassar. Sebab
bilangan delapan puluh merupakan bilangan yang telah pasti, maknaya tidak dapat
dipalingkan dan pengertian angkan delapan puluh kali itu tidak dapat diubah
dengan mengurangi atau menambah jumlahnya.
b. Lafaz
yang pada mulanya adalah mujmal atau dalam bentuk global kemudian dari pembuat
syariat sendiri datang penjelasan yang memerincinya sampai jelas bisa
diamalkan. Contoh bentuk lafaz mufassar ini adalah ayat-ayat perintah salat,
zakat dan haji dalam Al-Qur’an adalah kata-kata mujmal atau
global, tanpa terperinci cara-cara pelaksanaanya. Contoh ayatnya
adalah sebagai berikut :
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèÏÛr&ur
tAqߧ9$#
öNà6¯=yès9
tbqçHxqöè? ÇÎÏÈ
Artinya : Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu
diberi rahmat.
(QS. Al-Nur: 56)
3 ¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y 4
Artinya: Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup
Mengadakan perjalanan ke Baitullah.
(QS. Ali- Imran: 97)
Perintah
salat, zakat, dan haji pada ayat tersebut merupakan lafaz yang masih bersifat
global dan mengandung makna yang belum dijelaskan oleh bentuk ayatnya sendiri.
Tidak ada penjelasan tentang cara dan segala hal yang terkait dengan
pelaksanaan ketiga bentuk ibadah tersebut. Kemudian Rasulullah menjelaskan dan
merincinya melalui tindakan dan sabda beliau.
Kaidah
yang berlaku pada lafaz mufassar adalah wajib diterapkan sesuai penjelasan dan
rincian yang membentuk maknanya yang tidak mungkin dipalingkan dari makna
tersebut. Jadi kita wajib mengamalkan apa yang telah ditegaskan dan diperinci.
4)
Muhkam
Lafaz muhkam adalah lafaz
yang menunjukkan kepada maknanya secara jelas sehingga tertutup kemungkinan
untuk di ta’wil dan menurut sifat ajaran yang dikandungnya tertutup pula
kemungkinan pernah dibatalkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dengan kata lain lafaz
ini tidak menerima ta’wil maupun nasakh ( pembatalan), sebab menurut sifat yang
dikandungnya tertutup kemungkinan untuk dibatalkan. [9]
Hukum
yang ditunjukkannya tidak menerima pembatalan, karena merupakan ajaran-ajaran
pokok yang tidak berlaku padanya nasakh, misalnya kewajiban menyembah hanya
kepada Allah, iman terhadap malaikat, kitab, rasul, hari kiamat, qada dan qadr.
Begitu juga dengan menyangkut nilai-nilai dasar moralitas yang tidak mungkin
berubah dengan perubahan konteks sosial dan budaya, seperti berbakti kepada
orang tua, berlaku adil,
kejujuran dan sikap amanah. Lafaz muhkam tidak dapat dinasakh pada masa Nabi
Saw, apalagi pada masa berikutnya.[10]
Lafaz
muhkam terkait ayat dan hadis Nabi Saw memiliki dua bentuk. Kedua bentuk muhkam
adalah sebagai berikut.
a. Muhkam
lidhatihi, yaitu bentuk lafaz muhkam yang kejelasan maknanya berasal dari teks
itu sendiri. Seperti ayat berikut ini :
(#þqãKn=ôã$#ur
¨br&
©!$#
Èe@ä3Î/
>äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÌÊÈ
Artinya
: Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha
mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah: 231)
Sifat
al-‘ilm ( mengetahui) merupakan salah satu sifat yang melekat pada zat Allah
Swt, tidak mungkin mengandung naskh karena sifat maha mengetahui tersebut
merupakan sifat ketuhanan.
b. Muhkam
lighayrihi, yaitu bentuk lafaz muhkam yang kejelasan maknanya disebabkan
sesuatu di luar dari teks. Maksudnya setiap ayat atau hadis Nabi Saw yang telah
terputus kemungkinan dilakukan naskh dengan sebab terputusnya wahyu atau karena
berakhirnya masa kerasulan dan kenabian dengan wafatnya Rasulullah Saw.[11]
Kaidah
yang diberlakukan bagi bentuk lafaz muhkan adalah wajib diamalkan secara pasti
tanpa keraguan sebab lafaz ini tidak mengandung makna lain selain makna yang
ditunjukkannya. Lafaz muhkam adalah bentuk lafaz tertinggi dari segi tingkatan
kejelasan penunjukan terhadap makna.
B.
Metode Mutakallimun
Dalam
metode Bayani lafaz dari kejelasannya ini adalah lafaz yang telah mempunyai
arti yang jelas dan terang. Artinya lafaz tidak membutuhkan bayan (penjelasan).[12] Lafaz dilihat dari
segi kejelasan makna yang dihasilkan oleh lafaz tersebut di dalam metode
Mutakallimun hanya ada dua, yaitu: zhahir
dan nash.
1)
Zhahir
Secara
bahasa berarti al-wudhuh ( jelas). Lafaz zahir menurut Jumhur adalah bentuk
lafaz yang dapat mengandung ta’wil di
dalam maknanya. Atau bentuk lafaz yang penunjukan terhadap maknanya
dalam bentuk penunjukan asumtif (zanni). Sehingga tingkat penunjukan lafaz ini
hanya sampai pada tingkat “dugaan keras” (zanni). Dengan kata lain, makna yang
dihasilkan dari makna zahir merupakan bentuk makna yang cepat ditangkap dari
mendengarkan lafaz itu, namun masih terdapat kemungkinan pengertian lain selain
pengertian yang telah ditangkap.
Contohnya
dalam Al-Qur’an adalah kata yad dalam surat al-Fath ayat 10 :
ßt «!$# s-öqsù
öNÍkÉ÷r&
Artinya
: Tangan Allah di atas tangan mereka
Makna
zhahir dari kata “yad” dalam ayat diatas adalah tangan, karena untuk itulah
kata itu dibentuk dari mulanya, namun ada kemungkinan bahwa yang dimaksud bukan
makna zhahirnya itu tetapi makna lain, yaitu kekuasaan.[13]
Jika sebuah lafaz dipalingkan dari makna dasarnya kepada makna lain dilihat
dari konteks ayat maka disebut ta’wil. Namun makna yang tersirat yang
dihasilkan oleh ta’wil baru boleh difungsikan jika dinyatakan sebagai ta’wil
sahih yaitu ta’wil yang didukung oleh dalil tertentu.
Kaidah
terhadap lafaz zahir menurut Mutakallimun bahwa makna yang terbentuk wajib
diamalkan, tidak boleh diabaikan selama tidak ada petunjuk yang mengarahkan
maksud pembicaraan adalah makna yang tersembunyi.[14]
2) Nash
Secara
bahasa, nash berarti az-zuhur (jelas). Pengertian nash menurut Imam Syafi’i
yaitu teks Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, bik tegas maupun tidak tegas.
Berdasarkan pengertian tersebut, seluruh ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
hadis Rasulullah adalah nash, karena yang dimaksud dengan disini adalah teks
itu sendiri. Namun nash dalam pengertian khusus adalah lafal yang menunjukkan
suatu pengertian yang sama sekali tidak ada kebolehjadiaan pengertian yang
lebih jauh maupun dekat kecuali pengertian yang cepat ditangkap ketika
menderarkan bunyi lafal itu.[15]
Nash
merupakan bentuk lafaz yang tidak mengandung ta’wil atau sebuah lafaz yang
menunjukkan makna dalam bentuk penunjukan pasti (qat’i) yang tidak mengandung
pemahaman lainnya di luar makna tersebut. Contohnya adalah dalam surat
Al-Baqarah ayat 196 :
4 `yJsù öN©9 ôÅgs
ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO
5Q$r&
Îû Ædkptø:$#
>pyèö7yur
#sÎ) öNçF÷èy_u 3 y7ù=Ï?
×ou|³tã ×'s#ÏB%x.
Artinya : Tetapi
jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa
tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang
kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.
Kata
‘asyaratun kamilah tersebut adalah nash karena tidak ada kebolehjadian
pengertian lain kecuali sepuluh hari, tidak lebih dan tidak pula kurang.
Begitula dipahamai setiap lafal yang mengandung pengertian jelas yang tidak
mengandung kebolehjadiaan pengertian lain.
Kaidah
yang diterapkan pada lafaz nash wajib diamalkan secara pasti sesuai makna yang
ditunjukkan oleh lafaz tersebut, tidak dapat dipalingkan dari makna tersebut
kecuali dengan adanya naskh (pembatalan hukum) oleh pembuat syariat (al-syahri’).
Wajib mengamalkan secara pasti dan tidak dibenarkan melakukan ijtihad pada
kasus ini. dengan kata lain, bahwa pada suatu lafaz yang telah jelas dan tegas
pengertiannya maka ijtihad tidak lagi diperlukan.[16]
3.
Lafaz yang Tidak Jelas Maknanya
Dalam
pandangan ulama Hanafiyah lafaz yang tidak terang artinya itu disebut: ghairu
wudhuh al-ma’na yang rincian dan urut peringkatnya adalah:
1) Khafi,
tidak jelas.
2) Musykil,
lebih tidak jelas.
3) Mujmal,
sangat tidak jelas.
4) Mutasyabih,
paling tidak jelas.
Dalam
Al-Quran tidak boleh ada lafaz yang tidak terang artinya, oleh karena itu harus
dijelaskan. Peringkat urutan didasarkan kepada tingkat kesulitan dalam
menjelaskannya. Semakin susah tingkat usaha menjelaskannya semakin tinggi
tingkat ketidakjelasannya, yaitu: a) cukup dengan pemikiran sederhana; b) mesti
dengan menggunakan petunjuk ada dalil; c) mesti menggunakan petunjuk khusus
dari yang mengemukakannya dalam hal ini adalah Nabi; dan d) tidak ada petunjuk
sama sekali dan hanya Allah yang tahu.
1)
Khafi
Lafaz
khafi adalah bentuk lafaz yang padadasarnya memunculkan makna yang jelas. Namun
kejelasan makna tersebut menjadi sama ketika makna tersebut diterapkan pada
kasus tertentu yang sejenis. Ketidakjelasan muncul karena bentuk kasus itu
tidak persis sama dengan kasus yang ditunjukkan oleh lafaz tersebut. Sehingga
terlihat adanya kontradiksi antara kasus yang terterda dalam lafaz dengan kasus
turunan yang merupakan bagian dari kasus utama pada lafaz tersebut. Oleh karena
itu dibutuhkan penalaran yang mendalam untuk menghilangkan kesamaran makna
tersebut.[17]
Sumber
kesamaran dalam lafaz itu disebabkan karena dalam salah satu satuan artinya
(afrad-nya) mengandung sifat tambahan dibandingkan dengan satuan arti yang
lainnya. Bisa juga karena kurang sifatnya atau karena mempunyai nama khusus
(tersendiri). Karena ada kelebihan dan kekurangan sifat itu atau ada nama
khusus itu, menyebabkan artinya diragukan. Kesamaran arti lafaz itu dihubungkan
dalam konteks satuan dari arti tersebut.[18]
Contoh dari lafaz khafi adalah
sebagai berikut :
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtÏ÷r&
Artinya: laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya. (QS. Al-Ma’idah ayat 38)
Secara
umum pengertian pencuri cukup jelas, yaitu orang yang mengambil harta orang
lain secara sembunyi dari tempat penyimpanan yang layak baginya. Hukuman dari pencurian itu pun sudah sangat jelas,
yaitu hukum potong tangan. Namun lafaz ayat yang semula jelas menjadi tidakjelas
ketika menerapkan ayat itu kepada pencopet yang secara lihai bisa memanfaatkan
kelalaian seseorang untuk menguras hartanya, apakah termasuk ke dalam
pengertian pencuri atau tidak? Untuk mencari jawabannya adalah dengan jalan
ijtihad, dengan meneliti apakah pengertian itu termasuk ke dalam pengertian
ayat sesuai dengan cara suatu lafal menunjukkan suatu pengertian.[19]
Berdasarkan
contoh tentang lafaz khafi dapat disimpulkan bahwa kesamaran makna dari suatu
lafaz terjadi bukan akibat dari ketidakjelasaan lafaz itu sendiri. Lafaz
tersebut semula jelas namun menjadi tidak jelas ketika akan diterapkan pada
kasus lain yang merupakan bagian dari kasus yang dinyatakan lafaz tadi.
Penentuan posisi metodologis para ahli hukum islam dalam menyikapi lafaz inilah
yang membuka ruang bagi perbedaan pendapat di bidang furu’ (hukum islam).[20]
2)
Musykil
Musykil
adalah lafal yang tidak jelas pengertiannya, dan ketidakjelasan itu disebabkan
oleh lafal itu diciptakan untuk beberapa pengertian yang berbeda sehingga untuk
mengetahui pengertian mana yang dimaksud dalam suatu redaksi memerlukan
indikasi atau dalil dari luar, seperti dalam lafal musytarak (lafal yang
diciptakan untuk beberapa pengertian yang berbeda hakikatnya).[21]
Perbedaan
antara lafaz khafi dan musykil adalah bahwa pada lafaz khafi kekaburan maknanya
bukan disebabkan dari lafaz itu sendiri, melainkan disebabkan adanya keraguan
makna atas sebagian satuannya karena sesuatu dari luar. Adapaun kekaburan dari
makna pada lafaz musykil berasal dari lafaz itu sendiri karena lafaz itu
diciptakan untuk beberapa makna.[22]
Contoh
dari lafaz musykil adalah kata mushtarak. Yaitu sebuah kata yang mengandung
banyak pengertian, seperti kata yang ‘ayn. Kata ini dapat bermakna mata, mata
dan mata-mata . makna yang dihasilkan oleh kata ‘ayn berbeda-beda tidak dapat
mencakup keseluruhan makna dalam satu penggunaan kalimat. Makna tersebut
terbentuk tergantung dari kontes yang
mengintari atau mengikuti kalimat tersebut atau diterangkan oleh faktor dari
luar. Contoh nya adalah sebagai berikut :
ô öNçlm;ur ×ûãüôãr& w tbrçÅÇö7ã $pkÍ5
Artinya: Dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). (QS. Al-A’raf:179)
Konteks kalimat dalam ayat itu menunjukkan kata a’yum
sebagai bentuk jamak dari ‘ayn bermakna mata sebagai salah satu panca indera.
Contoh lainnya adalah lafal quru’ (jamak dari qur’un)
dalam surah al-baqarah ayat 228 .
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur
ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO
&äÿrãè%
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru'.
Kata quru’ dalam ayat tersebut dalam pemakaian bahasa Arab
bisa berarti “masa suci” dan bisa pula berarti “. Imam syafi’i mengartikannya
dengan masa suci, sedangkan Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haid.
Masing-masing mengambil kesimpulan yang berbeda
itu didasarkan kepada qarinah atau dalil luar yang berbeda pula. Begitulah
setiap lafal musykil dalam Al-Qur’an dan Sunnah, untuk memahaminya memerlukan
upaya ijtihad dalam mencari tanda-tanda atau dalil yang membantu untuk
memperjelas pengertiannya.[23]
Kesamaran lafaz musykil dapat
dihilangkan dengan melakukan upaya sinkronisasi antar ayat atau hadis serta
tujuan-tujuan umum pensyariatan hukum islam. Melalui aktivitas ijtihad, maka
makna lafaz musykil menjadi jelas dan hilang kesamaran maknanya meskipun hasil
yang dicapai dalam pentepan makna bagi lafaz musykil terebut berbeda atau
beragam tergantung pada sudut pandang masing-masing mujtahid.[24]
3) Mujmal
Lafaz mujmal dalam pengertian
sederhana adalah Lafaz yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberapa
hukum yang terkumpul di dalamnya.[25]
Tidak mungkin untuk mengetahui kesamaran lafaz ini kecuali melalui mubayyin (
penjelas) dari Al-Qur’n ataupun hadis.
Mujmal menurut Hanafiyah adalah
lafal yang mengandung makna secara global di mana kejelasan maksud dan
perinciannya tidak dapat diketahui dari pengertian lafal itu sendiri, seperti
istilah-istilah khusus dalam pemakaian syara’. Misalnya lafal shalat, zakat,
haji, dan lain-lain lagi lafal yang bukan dimaksud semata-mata pengertiannya
secara bahasa tetapi pengertian khusus syara’. Untuk mencari kejelasan
pengertiannya, seperti dijelaskan Adib Shalih, bukan dengan jalan ijtihad,
tetapi adalah dengan penjelasan dari Pembuat Syariat sendiri. Untuk
contoh-contoh diatas, Sunnah Rasulullah berfungsi untuk menjelaskan apa yang
dimaksud dengan istilah-istilah tersebut.[26]
Menurut ‘Abd al-Wahhab Khallaf, lafaz mujmal dapat terjadi
karena tiga sebab, yaitu:
a. Lafaz tersebut termasuk lafaz mushtarak
yang tidak mengandung qarinah ( petunjuk kontekstual) yang mengarahkan pada
penentuan salah satu maknanya
b.
Pembuat
syariat ( al-Shari’) menghendaki lafaz tersebut dengan makna yang khusus dalam
terma shar’I bukan dalam makna kebahasaaan
c. Keasingan lafaz dan kesamaran
pengertiannya.
Sehingga pada hakikatnya, ijtihad
tidak dibutuhkan pada lafaz mujmal. Sebab ijtihad dilakukan ketika lafaz mujmal
telah berubah menjadi lafazmusykil setelah adanya bayan dari pembuat syariat
baik melalui ayat atau hadis.[27]
4) Mutasyabih
Mutasyabih merupakan bentuk lafaz
yang memiliki kesamaran makna yang berasal dari lafaz itu sendiri dan terputus
semua upaya untuk mengetahui. Lafaz mutasyabih, secara bahasa (arti kata),
adalah lafaz yang meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan.
Dalam istilah hukum, lafaz mutasyabih adalah lafaz yang samar artinya dan tidak
ada cara yang dapat digunakan untuk mencapai artinya.[28]
Pihak yang mengetahui makna bentuk lafaz ini hanyalah Allah swt. Pada kondisi
ini, maka tidak ada peluang bagi akal manusia untuk menjelaskan makna lafaz
mutasyabih. Tuntutan bagi manusia lebih apda penerimaan bentuk lafaz itu apa
adanya dan menyerahkan segala maknanya semata kepada Allah.
Lafaz mutasyabih kebanyakan terdapat
dalam nash-nash selain tetnang hukum. Misalnya, huruf-huruf hijaiyah yang
dipergunakan sebagai pembukaan beberapa surat dalam Al-Qur’an, seperti “alif
lam mim, “ya sin” dan lainnya. Selain itu, pada beberapa ayat yang menetapkan
bahwa Allah itu serupa dengan makhluk,misalnya mempunyai tangan, sebagaimana
tercermin dalam Al-Qur’an surat Al-Fath ayat 10: [29]
¨©
ßt
«!$#
s-öqsù öNÍkÉ÷r& 4
Artinya: Tangan Allah diatas tangan mereka
Contoh lain lafaz
mutasyabih yaitu:
$O!9#
ÇÊÈ
Artinya: Alif laam
miin (QS. Al-Baqarah: 1)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Lafaz yang
jelas adalah lafaz yang jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud tanpa
memerlukan penjelasan dari luar
2.
Lafaz yang
tidak jelas adalah lafaz yang belum jelas penunjukkannya terhadap makna yang
dimaksud kecuali dengan penjelasan dari luar lafaz itu
3.
Lafaz yang
jelas maknanya sendiri terdapat 2 pendapat, yang pertama yaitu pendapat dari
jumhur ulama atau mutakallimun menjelaskan bahwa lafaz yang jelas maknanya
terbagi dari 3 tingkatan, yaitu nash, zahir dan mujmal. Sedangkan pendapat
lain, yaitu pendapat dari kalangan hanafiyah. Lafaz yang jelas menurut kalangan
hanafiyah ada 4 macam,yaitu zahir, nash, mufassar dan muhkam.
4.
Lafaz yang tidak jelas terdiri dari
4 tingkatan,yaitu : khafi, musykil, mujmal dan mutasyabih .
B.
Kritik
dan Saran
Semoga makalah yang penulis buat dapat memberikan manfaat
pengetahuan tantang lafaz jelas dan lafaz tidak jelas kepada pembaca. Semoga
makalah ini dapat membantu para pembaca untuk pembuatan makalah ushul fiqh.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam makalah ini, maka
penulis meminta saran dan kritik dari para pembaca untuk penyempurnaan makalah
kami.
Daftar Pustaka
Burhanuddin, Fiqih Ibadah, Bandung: Pustaka
Setia, 2001
Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Cetakan ke-7, Jakarta: Kencana,2017
Setiawan, Wahyu, Perbandingan Mazhab Ushul Fiqh, Lampung: STAIN Jurai Siwo Metro Lampung, 2014
Suyatno,
Dasar-dasar Ilmu Fiqh &Ushul Fiqh, Cetakan II, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Cet. 7, Jakarta: Kencana, 2014
Sudah pak
BalasHapusNama : Alvin Mayandi
BalasHapusNIM : 1193060010
Disini saya akan sedikit mengomentari mengenai Lafaz muhkam yang artinya adalah lafaz yang menunjukkan kepada maknanya secara jelas sehingga tertutup kemungkinan untuk di ta’wil dan menurut sifat ajaran yang dikandungnya tertutup pula kemungkinan pernah dibatalkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dengan kata lain lafaz ini tidak menerima ta’wil maupun nasakh, sebab menurut sifat yang dikandungnya tertutup kemungkinan untuk dibatalkan
Nah mengenai hal tersebut menurut saya ada hal ini mungkin akan lebih baik lagi jika lafaz muhkam lebih di rinci lagi supaya dapat lebih mudah dalam memahami yang lainyya ..
Moh Guntur Sukma Ramadhan 1173060052
BalasHapusM.Alfaizi 1193060043
BalasHapusTerimakasih atas penjelasanya pak